Sabtu, 13 Juni 2009

UU pornografi

I.PENDAHULUAN
Pornografi menjadi permasalahan yang sangat menarik, bukan hanya karena objek yang dijadikan pembahasan secara alamiah maupun naluriah selalu meminta perhatian, akan tetapi persoalannya yang ditimbulkan meluas keberbagai bidang. Prokontra pengaturannya pun selalu mengiringi proses pembuatan aturan itu, tak terkecuali di negara uyang paling liberal seperti Amerika Serikat. Hakekat utama dari pornografi dan permasalahannya adalah bagaimana cara pandang seseorang, perlakuan terhadap tubuh mengajarkan bagaimana melihat dan memperlakukan tubuh seseorang, dimana hal ini menonjolkan tubuh atau dengan arti lain mengeksploitasinya, memperlakukan tubuh sebatas nilai guna baik bagi si pemiliki tubuh maupun rezim ekonomi yang memandang tubuh sebagai sebuah komoditas. Gambaran mengenai nilai guna tubuh hanya bagi kepentingan ekonomis pemiliknya terlihat dari makna yang muncul dari kata “pornografi”. Pornografi yang secara etimologis berarti ungkapan atau tulisan mengenai pelacur atau deskripsi mengenai perbuatan para pelacur menggambarkan nafsu rendah yang dieksploitir dengan tujuan atau sebagai alat untuk menarik minat lawan jenis. Perlakuan terhadap tubuh atau biasa disebut politik kebertubuhan yang memandang tubuh sebagai sebuah produk dengan bingkai yang lebih menarik. Dalam dunia bisnis, nafsu seksual merupakan komoditas yang tak habis ditekan inflasi, sehingga akan tetap memberi keuntungan bagi pelaku bisnisnya (Agus Raharjo,2008).
Mengenai persoalan pornografi, perempuan selalu dijadikan objek utama dalam penggambaran materi yang bermuatan pornografi, padahal tak sedikit pula laki-laki yang menjadi materi dalam pornografi tersebut. Budaya patriarki yang terjadi pada masyarakat kita menempatkan dominasi laki-laki diatas perempuan, sehingga posisi perempuan menjadi tersub-ordinasi dan selalu menjadi objek dan korban yang dapat dieksploitasi. tubuh seorang perempuan dalam tatapan masyarakat patriarki diberi makna tertentu yang secara kultur sebagai seks semata-mata. Objektivikasi perempuan di dalam pornografi adalah hasil dari subjektivikasi laki-laki. selain mengobjektivikasi perempuan, representasi-representasi pornografi juga mendegradasi diri perempuan ( Syarifah,2006).
Materi pornografi berkembang dari waktu ke waktu. Sejak Publius Ovidius menyampaikan karya bermuatan pornografi dalam bentuk syair, relief-relief dan patung yang bersifat cabul di Candi Sukuh dan karya sastra Serat Centhini yang merupakan penggambaran dari perkembangan teknologi yang menjadi medium penyampaian sekaligus pendokumentasiannya. Ada beberapa argumen yang menjelaskan bagaimana materi yang bermuatan pornografi dapat disebarluaskan. Argumen pertama didasarkan pada revolusi dalam sejarah pemikiran manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Stevan Harnad“ revolusi pertama terjadi ketika bahasa muncul untuk pertama kalinya pada jutaan tahun yang lalu, revolusi kedua yaitu berupa ditemukannya tulisan dan revolusi selanjutnya yaitu sejarah tool kontruksi pengetahuan manusia. serta revolusi berikutnya dimana tulisan didistribusikan dengan kecepatan amat luar biasa yang dicirikan cara berfikir manusia yang tanpa batas”. Argumen kedua berkaitan dengan cara bagaimana manusia berkomunikasi atau mengkomunikasikan hasil pemikirannya. Menurut Everett M. Rogers, “ dalam hubungan komunikasi di masyarakat di kenal 4 era yaitu: era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi dan era komunikasi interaktif ( Rogers,1986).
Masalah pornografi di media massa bukanlah masalah yang baru. Ketika Persatuan Wartawan Indinesia (PWI) berdiri pada 9 februari 1946, dimana PWI ini melakukan usaha-usaha pencegahan pornografi di media massa. Menurut Kode Etik Jurnalistik, pimpinan dan redaksi media massa harus mempertimbangkan patut atau tidaknya tulisan atau gambar dipublikasikan. Namun dari tahun ke tahun pers masih menghadapi permasalahan dalam memfilterisasi pornografi karena belum terdapat kriteria-kriteria yang dapat diterima oleh semua pihak. Pada tahun 1954, bom sex Indonesia meledak, yang diawali oleh Nurnaningsih yang menampilkan pose-pose yang seronok disalah satu majalah. Hal tersebut menimbulkan kehebohan dimata masyarakat, namun tersiar kabar bahwa pose-pose yang terdapat dalam majalah tersebut adalah hasil teknik montage dimana Nurnaningsih sendiri tidak pernah tahu tentang pembuatannya. Awal tahun 1970-an novel “ Tante Girang “ karya sastrawan Motinggo Boesye menjadi bacaan yang sangat laris dimasyarakat, yang kemudian novel tersebut difilmkan pada tahun 1974, yang di bintangi oleh Rhayu Effendi yang menjadi simbol seks ketika tampil bugil dengan Dicky Suprapto. Setelah itu film-film yang menampilkan artis-artis seksi mulai bermunculan, meskipun muncul berbagai protes dari masyarakat tetapi film-film tersebut tetap lolos sensor (Didi Wahyu,2008).















II.TINJAUAN PUSTAKA
Pornografi berasal dari istilah Yunani porne yang berarti budak seks yang perempuan, sedangkan graphos berarti penulisan atau penggambaran mengenai tindak tanduk tersebut. Pornografi adalah obsenitas yang menarik bagi minat rendahan, menyinggung perasaan dan tidak mempunyai nilai artistik, politik maupun keilmiahan yang serius (Amiruddin, 2008).
Menurut Afnil Guza SS (2008), pornografi merupakan gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,animasi,kartun,percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukkan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Yang ditekankan pada “pornografi”, kaitannya dengan perusakan masyarakat adalah pengumbaran seksualitasnya. Hal ini berarti pornografi lebih dijabarkan secara detil atau rinci secara definisi, tidak lagi secara general, agar tidak terjadi dan dijual sebagai hiburan. Sehingga di kalangan feminis hukum dapat merusak masyarakat, karena disitu citra perempuan menjadi direndahkan dan menyinggung perasaan (Amiruddin, 2008).
MacKinnon pornografi didefinisikan sebagai penggambaran tegas perendahan perempuan secara seksual melalui gambar dan/atau perkataan, termasuk di dalamnya perempuan yang didehumanisasi dan diobjekkan sebagai seseorang yang sedang menikmati kesakitan, perendahan martabat,maupun perkosaan dalam konteks yang membuat kondisi – kondisi yang menjadi seksual.
Larangan adanya UU APP dilatarbelakangi oleh (Amiruddin, 2008):
1.Adanya nilai – nilai diskriminatif terhadap perempuan dimana perempuan ditempatkan sebagai tersangka dalam pornografi.
2.Tidak tampak adanya sosialisasi ke masyarakat bahwa pembentukan hukum dibangun secara logis, melainkan lebih pada pertarungan politik yang diarahkan pada pertarungan antara moralitas dan imoralitas.
3.Sejak awal ada modus bagaimana pembentukan RUU tersebut tersetir oleh kelompok – kelompok tertentu, sementara DPR seharusnya netral menyikapi isu yang controversial.
Sebagian kalangan di masyarakat berusaha menangkal perubahan - perubahan dahsyat ini melalui Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Sebagian lagi merasa bahwa RUU APP ini hanya akan memasung kreatifitas seni dan mengabaikan kemajemukan di dalm masyarakat.
Gugatan masyarakat terhadap pers kaitannya dengan pornografi adalah:
1.Pornografi muncul setelah pers memperoleh kembali kemerdekaannya yang dijamin dengan UU.
2.Kebebasan pers menyebabkan tumbuhnya penerbitan pornografi.
3.Kebebasan pers harus ditata kembali.
Lokakarya Pornografi di Mediamasa (Juli 1999) merumuskan pedoman pemberitaan Anti Pornografi:
1.Pers Indonesia menghindari penyiara tulisan, foto, gambar yang bias merangsang nafsu birahi.
2.Pers Indonesia dalam menyiarkan pendidikan seks, menghindari eksploitasi masalah seks secara vulgar.
3.Pers Indonesia tidak memanfaatkan selera rendah untuk memenuhi kepentingan komersial.
4.Pers Indonesia dalam menyiarkan masalah seks harus mempertimbangkan system nilai yang berlaku(Mariana Amiruddin, 2008).


III.PEMBAHASAN
Negara republik Indonesia Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta melindungi harkat dan martabat setiap warga Negara. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan keribadian luhur bangsa Indonesia sehinggan mengancam kehidupan dan tatanan social masyarakat juga mengakibatkan meningkatkan tindak asusila dan pencabulan (Afnil Guza SS, 2008).
Pornografi di tiap daerah tidak dapat disamakan pembatasannya, karena pornografi sendiri bersifat relative, artinya bersifat ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa. Pembatasan pornografi bagi kelompok yang anti pornografi berkaitan dengan persoalan moral, akhlak, sopan santun umum, rasa susila, disintegrasi social. Wacana ini melihat pornografi dalam konteks pelecehan terhadap kesakralan dari prisip – prinsip prokreasi serta privatisasi maupun personalisasi hubungan seks. Seks dalam pornografi telah dijadikan seks publik yang tujuannya semata-mata untuk mengisi kebutuhan rekreasi. Dalam status seks public, wacana ini menganggap seks telah kehilangan nilai adiluhungnya karena disekularisasi oleh pornografi, akibat seks menjadi mesum, cabul, jorok, tidak senonoh dan menjijikan. Gambaran tentang seks seperti inilah yang disodorkan pornografi ke tengah kehidupan orang banyak, seks yang merusak moral orang banyak dan berdampak pada disintegrasi sosial.


LARANGAN DAN PEMBATASAN
Tentang larangan dan pembatasan pornografi, Sesuai dengan :
Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: e. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; f. kekerasan seksual; g. masturbasi atau onani; h. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau i. alat kelamin. (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5 Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6 Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
Pasal 7 Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8 Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10 Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11 Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12 Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13 (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14 Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a. seni dan budaya; b. adat istiadat; dan c. ritual tradisional.
Pasal 15 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.




Pornografi atau pornoaksi merupakan persoalan yang harus dibatasi pada ruang-ruang tertentu. Itulah sebabnya banyak kalangan yang tidak se-pendapat bila persoalan moral diatur karena hal itu juga sama dengan mengatur pribadi-pribadi orang lain. Karakter khas dan pribadi adalah unik. Hampir sulit ditemukan kesamaan persis antara satu pribadi dengan pribadi lainnya, kecuali mendekati. Dibungkus dengan lingkungan alam dan sosial, pribadi-pribadi unik ini biasanya membentuk satu komunitas tertentu dengan budaya atau pola pikir dan perilaku tertentu.
Alasan pihak PRO dengan adanya UU APP,diantaranya sebagai berikut:
1.UU Pornografi Untuk Selamatkan Anak Kita dan Perempuan RUU APP melindungi kaum perempuan Indonesia dari pihak-pihak yang justru merendahkan kaum perempuan serta melindungi perempuan dari sasaran korban pelecehan dan pornografi yang muncul di media. Disamping itu , RUU APP juga melindungi moral anak-anak kita dari bahaya pornografi demi membangun masa depan bangsa, Karena dengan disahkannya UU Pornografi ini maka masyarakat berharap tayangan maupun ekspose pornografi dan aksi-aksi panggung artis penyanyi dan film maupun sinetron yang kesemuanya menjurus bisnis dapat ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku.
2.UU APP dibuat bukan untuk memaksakan aturan suatu agama dan budaya. Akan tetapi, untuk menjadikan masyarakat Indonesia lebih beradab dalam era globalisasi ini.






Alasan pihak KONTRA dengan adanya UU APP,diantaranya sebagai berikut:
1.Pemberlakuan UU APP mematikan industri pariwisata. “ Kebijakan memberantas dan mencegah aksi pornografi dan sebagainya yang selama ini menjadi alasan perusak moral dan susila, apakah dengan produk RUU dan semacamnya, itu memang sah-sah saja. Tetapi , jangan sampai merusak tatanan yang sudah baku seperti sektor pariwisata, seni dan budaya, bahkan kebebasan pers sendiri,” ungkap Jonathan Tarigan . “Harus diingat dengan bijak, pariwisata itu merupakan satu dunia glamour yang sudah baku dengan pola dan misi bersenang-senang atau bersuka-ria bagi para individu pelakunya sebagai pelancong atau pelesiran. Itu memang sudah warna dunianya. Jadi, para turis yang nyaris bugil berjemur di pantai-pantai itu jangan dicap porno karena itu adalah tradisi mandi matahari (sun bathing), bukan pamer aurat.
2.UU APP adalah UU yang mubazir ( Perspektif hukum; apa tidak cukup KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penyiaran, dll. ) Menurut mereka yang kontra, kalau tujuannya adalah menekan merebaknya pornografi maka tidak diperlukan produk hukum lagi semacam UU P; tinggal diefektifkan saja undang-undang yang sudah ada seperti KUHP dan UU Pers.
3.UU APP akan memicu disintegrasi (perpecahan) kebudayaan suku bangsa di Indonesia.alasan mereka adalah bahwa Pornografi di tiap daerah tidak dapat disamakan pembatasannya, karena pornografi sendiri bersifat relative, artinya bersifat ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa.







IV.KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
1.Pornografi merupakan gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,animasi,kartun,percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukkan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2.Alasan pihak PRO dengan adanya UU APP,diantaranya sebagai berikut:UU Pornografi Untuk Selamatkan Anak Kita dan Perempuan&UU APP dibuat bukan untuk memaksakan aturan suatu agama dan budaya.Akan tetapi, untuk menjadikan masyarakat Indonesia lebih beradab dalam era globalisasi ini.
3.Alasan pihak KONTRA dengan adanya UU APP,diantaranya sebagai berikut:Pemberlakuan UU APP mematikan industri pariwisata. UU APP adalah UU yang mubazir&UU APP akan memicu disintegrasi (perpecahan) kebudayaan suku bangsa di Indonesia.
4.UU PP masih mengundang kontrofersi,meski UU nya telah di sah kan pada tahun 2008.
B.Saran
Dalam menyikapi permasalahan ini sebaiknya kita tidak memandang hanya dari satu sisi saja, tetapi harus dipandang dari berbagai aspek sehingga tidak menimbulkan konflik yang tidak ada penyelesaiannya.


DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Mariana. 2008. Artikel: Tidak Benar Feminisme Pro Pornografi Tapi Ya untuk UU Pornografi.
Guza,Afnil SS.2008.Undang-Undang Pornografi.Jakarta.Asa Mandiri.
Raharjo, Agus.2008.Artikel: Pornografi dan Teknologi.Agus Raharjo.Purwokerto.
Rogers,Everett M. 1986. Communication technology. The New Media Society. London: The free Press Collier Macmillan Publisher.
Syarifah, 2006. Kebertubuhan Perempuan Dalam Pornografi. Jakarta: Yayasan Kota Kita
Wahyu, Didi.2008.Artikel:Pers dan Pornografi . Didi Wahyu.: Purwokerto









MAKALAH
KEWARGANEGARAAN

“PRO KONTRA
UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI”






KELOMPOK 9

KETUA : Ika Akmala A1I007009
SEKRETARIS : Lely Umiati U. A1A007010
ANGGOTA : Pramono A1E006012
Nurman Trisatyo A1I007037
Ardhi Permadi A1B006021
Donny Semiawan A1A007020
` Oktaria Fajarwati A1A007041





DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2009

Tidak ada komentar: